Perintah Allah SWT yang pertama kepada kita segenap manusia yang dilahirkan di muka bumi ini adalah membaca. Perintah membaca menjadi awal, dan isi dari turunnya Al Qur’an pertama kali di dunia ini. Hal ini mengandung makna tersirat dan pesan akbar kepada segenap manusia, khususnya kaum muslimin agar menjadikan aktivitas membaca sebagai suatu tradisi, kewajiban yang utama. Membaca itu dibagi menjadi 2 bagian, yakni membaca yang tersurat, dan membaca yang tersirat. Mari kita amati firman Allah dalam surat Al ‘ala’ ayat 1-5.
“Bacalah. Dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakanmu. Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling mulia. Yang telah mengajarkanmu melalui perantara qalam.”
Membaca adalah tradisi para ulama kita. Mereka memahami betul bahwa membaca adalah jendelanya ilmu. Dengan membaca orang akan mengetahui banyak ilmu, bertambah wawasannya (tsaqofiyah), menyadari kebodohannya dan sedikitnya ilmu yang ia miliki selama ini. Hal ini akan semakin meningkatkan kedewasaan seseorang dalam menyikapi dan menatap setiap tantangan, rintangan, dan ujian serta cobaan yang Allah SWT berikan padanya. Tidak hanya kedewasaan dalam hal berfikir dan menyikapi sesuatu, tetapi juga berbuah pada akhlaknya yang semakin membaik, semakin rendah hati dan tawadhu’.
Hal ini senada dengan apa yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i. Beliau berkata, “Semakin banyak saya belajar, semakin ketahuanlah betapa bodohnya diri saya ini. Semakin banyak saya membaca, semakin saya menyadari betapa sedikitnya ilmu yang dimiliki.”
Islam mengharamkan kebodohan. Itulah alasan berikutnya, kenapa perintah pertama kepada manusia adalah membaca. Pertanyaan runtut berikutnya adalah, kenapa membaca? Dengan membaca manusia bisa terbebas dari kebodohan. Kita menyadari bahwa kebodohan berdanpak sistemik dalam kehidupan manusia. Kebodohan membawa kepada kemiskinan, kemiskinan membawa kepada kekufuran, dan kekafiran membawa kehancuran dan mengundang datangnya azab Allah swt.
Tradisi kedua para ulama besar adalah menulis. Ilmu yang mereka miliki disebarkan kepada yang lain, lewat jalan menulis. Jalan ini jalan abadi, karya seseorang tidak pernah mati padahal penulisnya sudah hancur tulang belulangnya di alam kubur. Selain tak dibatasi waktu, tulisan juga tidak dibatasi oleh tempat. Karya kita bisa dinikmati oleh siapa saja dimanapun mereka berada. Kemanfaatan terus mengalir menembus batas waktu, objek, dan tempat. Bagi seorang muslim, inilah amal jahriyah bagi dirinya yang tiada putus-putusnya hingga akhirat datang.
Mereka yang membaca pasti terdorong menulis. Membaca itu seperti air kran yang mengisi pipa anomali. Ia selalu mengisi, mengalir untuk mengisi dari satu wejana ke wejana berikutnya tanpa henti. Kontribusi tiada henti, hingga surga ditempati.
(Ditulis olehAli Margosim, Penulis, Anggota KSI)
0 komentar:
Post a Comment