Sunday, November 27, 2016

Bersama Ribut, Berjauhan Rindu!

Selamat pagi, Pak Ali. Mohon solusi dari anda atas permasalahan kami ini. Di rumah, saya dan istri selalu bertengkar, seakan tiada habisnya. Namun, saat kami berjauhan, rindu di hati menyesakan dada kami. Saya bingung, apa yang salah dengan kami. Mohon pencerahannya, Pak. Terimakasih

(Pak Hadi, dari Kota Y)

Jawab:

Pak Hadi yang baik, saya melhat cinta kalian berdua begitu besar. Tugas kalian, hanyalah menguatkannya agar kokoh dalam menghadapi badai kehidupan. Yakinlah, badai pasti berlalu, asal kalian berdua berkemauan kuat untuk senantiasa belajar memperbaiki diri.

Friksi (perbedaan) dalam rumah tangga tersebut selalu ada. Friksi itu bisa berupa perbedaan pendapat, prinsip, selera atau keinginan, hobi, impian, dan kecenderungan. Sebetulnya, ini adalah hal yang lumrah. Sudah menjadi bagian dari fitrah penciptaan manusia. Rambut memang sama hitam, tapi isi kepala bisa berbeda-beda.

Friksi ini bukanlah masalah tatkala kita bisa menyikapinya dengan bijak, lebih dewasa. Namun sebaliknya, tanpa kepiawaian mengelolah perbedaan ini, tidak bisa dipungkiri hal ini menjadi bumerang. Banyak pasangan suami istri pisah sebab ketidakmampuan mengelolah perbedaan. Tidak hanya pasangan muda yang banyak bubar, bahkan pasangan tua pun yang notabene dianggap berpengalaman tidak sedikit yang memilih jalan perceraian.

Baca Juga: "Suamimu Surgamu atau Nerakamu"

Kedewasaan ini tidak mesti ada pada pasangan dewasa. Siapapun bisa bertindak dewasa. Kedewasaan itu terlihat tatkala seorang suami atau istri mampu mengelolah emosinya dan menurunkan ego dirinya.

Saat suami marah, emosinya tidak stabil, mungkin disebabkan stres mengurus pekerjaan, maka sikap dewasa dari seorang istri adalah diam. Ia menunggu gelombang surut, setelah surut barulah ia menyeberangi lautan hati suaminya. Setelah emosi reda, seorang istri yang bijak meminta maaf kalau ia merasa bersalah (khilaf). Ia hidangkan segelas air putih atau jenis minuman kesukaan sang suami.

Begitupula halnya tatkala emosi istri meninggi, mungkin karena lelah mengurus anak—lelah mengurus rumah—bosan alias suntuk, pengen rekreasi, maka suami yang dewasa memilih diam. Setelah badai reda, barulah kemudian ia melanjutkan perjalanan menuju istana hati sang istri. Itu bisa berupa memeluk sang istri, menguatkannya dengan kata-kata penyemangat, memijitnya, sesekali membebaskannya dari pekerjaan rumah (biasanya weekend ya), mengajaknya jalan-jalan ke pantai, atau shopping kalau memang ada kebutuhan dan uang mencukupi. Dan, ajaklah ia ke pengajian-pengajian, atau silaturahmi ke rumah tokoh panutan semisal Kiyai, Ustadz, Guru, dan lainnya. Atau mengunjungi teman karib semasa sekolah atau sewaktu ngampus.

Di samping friksi bawaan tersebut, pemicu keributan selanjutnya adalah finansial. Tatkala keuangan keluarga bagus, potensi keributan juga ada. Diantaranya, siapa yang memegang uang, cara membelanjakannya, dan prioritas kebutuhan. Menurut suami, uang dia yang pegang, istri tidak terima, akhirnya ribut. Suami belanja ke mall itu bisa cepat, sebab ia beli saja, nggak begitu peduli dengan diskon atau korting, sementara istri tidak terima, akhirnya ribut. Giliran istri yang belanja, hampir dua jam belanja juga nggak kelar-kelar, suami yang nungguin jadi jengkel, akhirnya ngomel-ngomel terus sampai masuk rumah. Menurut suami beli rumah dulu sebab masih ngontrak. Sementara istri kekeh dengan pendapatnya, beli mobil dulu sebab anak sudah tiga—kemana-mana repot, akhirnya ribut.

Keuangan bagus, ada masalah. Keuangan macet, juga banyak masalah. Setelah finansial, penyebab keributan berikutnya adalah masalah ranjang.

Masalah ranjang mendominasi dari sekian penyebab ketidakharmonisan suami istri. Walaupun bahasan ini dianggap tabu oleh sebagian masyarakat ( anggapan yang tidak beralasan secara syariat), tapi justru ini hal yang paling krusial. Berdasarkan hasil penelitian saya dari tahun 1999-2015, saya menemukan hal yang sangat mengejutkan. Dari seribu keluarga bercerai, masalah ranjang menempati rangking satu (mayoritas). Artinya, masalah ranjang adalah masalah serius.

Ranjang yang sehat, keharmonisan suami istri kuat. Problematika ini banyak kita temui dalam keseharian. Suami minta dilayani, istri nolak, akhirnya ribut. Sering ditolak, akhirnya suami pilih tidur sendiri dikamar berbeda, jadi masalah. Sering ditolak, suami mulai melirik wanita lain, jadinya selingkuh—masalah baru. Suami menderita ED (Ejakulasi Dini), istri kecewa, jadi masalah. Istri menopause, suami mau tidak mau puasa, jadi masalah. Akhirnya, ada suami yang main mata dengan pembantu, janda sebelah, dan lainnya. Atau, kalau suami masih beriman, seringnya marah-marah. Adakah solusinya? Ada. Ikuti saja training “bahagia menyambut menopause”, insyaallah selesai tuh masalah.

Sebab sudah sering ‘buka tabungan’, hubungan jimak kurang nendang, jadi masalah. Istri sudah tidak menarik, jadi masalah. Suami makin tua makin bernafsu, sementara libido istri terjun bebas, akhirnya ribut. Begitu banyak sumber keributan. Tanpa kedewasaan dalam menyikapinya, ini bisa menjadi malapetaka pecahnya bahtera rumah tangga.

Menurunkan ego, mengelolah emosi, bisa dijalankan dengan baik tatkala diawali dengan keimanan yang kuat kepadaNya, pemahaman dan pengamalan yang baik atas nilai-nilai agama, dan keteguhan berpegang erat pada Qur’an dan Hadits, sebagai sumber solusi atas berbagai badai kehidupan berumah tangga.

Mari wujudkan keluarga bahagia. Harmonis di dunia, bersama di surga.

( Konsultasi diasuh langsung oleh Baba Ali Pakar Ketahanan Keluarga, Penulis buku HDBS)

0 komentar:

Post a Comment