Bismillahirrahmanirrahim. Selamat malam, Baba Ali. Nuwun pangapunten, ganggu panjenengan. Sekali lagi mohon dima’afkan. Saya Kasman ( nama samaran, red.) mau sedikit cerita.
Saya baru nikah 3 tahun yang lewat, belum punya keturunan. Setelah membaca buku panjenengan yang berjudul “Harmonis dunia akhirat” saya jadi merasa banyak dosa. Saya dan istri sangat menyesal atas perbuatan kami di ranjang. Jujur, kami ini awam masalah agama. Jadi, kami melakukan apa saja yang sekiranya enak menurut kami. Kami tidak mengerti adab dan hukumnya, apalagi akibatnya bagi kesehatan, dan jiwa.
Karena tidak tahu, kami sering berhubungan saat istri lagi haid. Pernah juga lewat pintu belakang.
Baba bilang, sebelum jimak baca doa. Kami tidak begitu, kalau pengen ya langsung main. Baba ajarkan tata cara mandi wajib, kami baru ngerti kalau mandi wajib itu ada urutannya. Kami biasanya langsung guyur saja sepuasnya. Dan lain-lain. Kacau, pokoknya.
Pernah kami kepikiran, jangan-jangan kami telah berbuat salah. Tapi lagi-lagi, kami malu bertanya. Kami merasa saru (red: hal yang tabu, kotor) untuk ditanyakan. Jadi, kami diamkan saja. Mohon bimbingannya, Baba!!!
Jawab:
Saudaraku yang baik, alhamdulillah Allah telah mempertemukan kita. Semoga kehidupan kalian lebih baik, indah, dan berkah. Aamiin. Memang, inilah problem kebanyakan kita saat ini. Mayoritas seperti ini. Mereka mendiamkan ketidaktahuannya, sebab merasa malu, yang akhirnya membuat ia terjerembab dalam kubang kemaksiatan. Karena rasa malu yang tidak pada tempatnya, hubungan yang seharusnya jadi ladang pahala berubah menjadi lumbung dosa.
Imam Ahmad telah mengetengahkan Hadits berikut melalui Ummu Sulaim ra yang telah menceritakan bahwa suatu ketika ia berada di sebelah Ummu Salamah ra, istri Nabi saw, lalu Ummu Sulaim bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut pendapatmu tentang seorang wanita yang bermimpi digauli oleh suaminya, apakah dia wajib mandi besar?”
Ummu Salamah ra menghardik Ummu Sulaim dengan mengatakan, “Hai Ummu Sulaim, celaka engkau!” Wanita yang ada di majelis Rasul saw pun menjadi heboh, lalu Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya Allah saja tidak malu untuk menerangkan perkara yang haq dan sudah seharusnya bagi kita bertanya kepada Nabi saw tentang hal-hal yang tidak kita mengerti. Ini lebih baik daripada kita diam saja, tidak mau bertanya kepadanya.”
Nabi saw bersabda, “Semoga Allah memberkatimu, hai Ummu Sulaim. Dia harus mandi besar jika merasakan adanya air (mani yang keluar).”
Baca juga: "Hukum Menolak Ajakan Suami ke Ranjang"
Ummu Salamah ra bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah wanita juga mengeluarkan air mani?”
Rasulullah saw menjawab, “Lalu akan mirip siapakah anaknya nanti? Wanita itu adalah belahan kaum laki-laki.”
Dari kejadian di atas, banyak pelajaran yang bisa kita petik. Diantara pelajaran tersebut adalah dimanakah seharusnya kita menempatkan rasa malu. Ummu Sulaim, bukan istri Nabi saw. Beliau adalah seorang sahabiyah yang terkenal cerdas di masa itu, sekaligus istri yang sangat taat pada suaminya. Suaminya bernama Abu Talhah ra (kisah hebatnya saya sertakan dalam buku saya yang akan terbit “Keluargaku Surgaku”.
Ummu Sulaim menanyakan sesuatu hal yang beliau tidak mengerti, begitu pula semua Ummahat seketika itu. Tetapi yang berani menanyakan langsung kepada Nabi saw hanyalah beliau seorang diri, yang lain merasa malu. Bahkan saking dianggap tabu, Ummu Salamah (istri Nabi saw sendiri) menghardik keras Ummu Sulaim.
Keberanian Ummu Sulaim membuka tabir kebenaran. Sehingga seorang Ummu Salamah yang tidur seranjang dengan Nabi saw, tidak pernah menanyakan langsung ke Nabi saw selama ini, kini ia pun terpancing ikut serta bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah wanita juga mengeluarkan air mani?”
Saudaraku yang baik, dalam urusan yang haq (aqidah, kebenaran, dan kebaikan) tidak dibenarkan mendiamkan ketidaktahuan. Tatkala kita tidak memahami suatu perkara, kita diwajibkan bertanya. Begitu kaidahnya. Termasuk dalam urusan ranjang sekalipun.
Bila kita membuka kitab-kitab para ulama, semisal Fatul Baari-nya Syekh Ibnu Hajar Al Asqalani. Dalam kitab tersebut dijelaskan sedetil-detilnya urusan ranjang suami istri, bahkan bisa jadi tidak ada lagi bahasan seputar jimak yang belum dibahas. Hal yang sama bisa pula kita temukan dalam kitab Ihya ulumuddin, yang ditulis Imam Al Ghazali rahimahullah ta’ala. Di dalamnya ditemukan bahasan jimak yang begitu lengkap. Lalu, dimanakah letak tabunya atau malu dengan bahasan ranjang? Selagi yang dibahas adalah adab (etika), hukum, maka itu adalah sebuah kebenaran. Dimana, tatkala orang mengabaikannya, ia akan terjerumus dalam dosa, perbuatan merusak kesehatan dan jiwanya sendiri, dan keberlangsungan keturunan manusia itu sendiri.
Memang Rasulullah saw pernah bersabda, “Al haya’u minal iman.” Malu adalah sebagian dari iman. Malu (al haya’) yang dimaksud dalam hadits ini adalah malu berbuat maksiat, malu ingkar padaNya, dan malu kufur atas nikmatNya.
Fenomena aneh yang menjamur saat ini adalah banyak orang dengan entengnya berbuat dosa, bahkan pamer kemaksiatan dengan penuh bangga—penuh keberaniaan. Ia tidak malu memamerkan auratnya, tidak malu berzina, tidak malu selingkuh, tidak malu mengabaikan shalat, tidak malu korupsi. Tetapi mereka malu menanyakan hal-hal syar’iyah yang menyangkut dengan agamanya sendiri. Ia malu bertanya, padahal ia awam, yang akhirnya menelan resiko buruk dari ketidak tahuan tersebut.
Mereka malu bertanya tentang bagaimana adab dan hukum dalam berjimak menurut syariat, tentang air mani, tentang darah istikhadah, tentang onani dan masturbasi beserta larangannya, tentang posisi dan gaya berjimak yang dibolehkan dan yang dilarang dalam syariah islam, tentang menopause, tentang libido, dan lainnya. Selengkapnya bisa dibaca dalam buku “Harmonis di dunia, bersama di surga”.
Semoga menjadi bahan renungan bagi kita semua, sehingga bisa menempatkan rasa malu dengan benar. Wallahu alam bisshawab!
( Dipandu langsung oleh Baba Ali Pakar Ketahanan Keluarga, Penulis buku HDBS )
0 komentar:
Post a Comment