Saat makan siang di hotel pandanaran, jumat/23 september 2016. Seorang Trainer Kesehatan, Praktisi Hypnosis, Hypnotherapy, domisili Jogjakarta, bercerita kepada saya ( Baba Ali) mengenai kisah percintaannya. Sebutlah namanya Bapak Malasta (nama samaran, pen.)
Sembari menyicipi segelas es campur, beliau memulai cerita asmaranya. “Sehari gempa di Bantul, tahun 2006, pacar saya ke rumah. Lama ia menatap saya dengan tatapan kosong. Ia kemudian bertutur, ‘Aku mau putus mas!’
‘Kenapa?’
‘Aku dah ngga tahan mas! Aku nggak siap hidup bersamamu.’ Balasnya tanpa mempertimbangkan perasaanku yang semakin hancur.
‘Kenapa dek? Kok tiba-tiba jadi begini.” Sedih, bingung, marah, bercampur baur tak jelas
‘Kamu tuh udah oldface, miskin, motor aja nggak punya, sekarang rumah pun juga nggak punya.’ Tambahnya bagaikan petir menyambar ke mukaku yang malang ini. Wajah tua, yang setelah dihina itu semakin tua.’
Saya membiarkannya pergi. Saya benar-benar menahan emosi sebisaku ketika itu, sampai-sampai saya tak kuat berdiri. Berbulan-bulan saya dan orang tua tidur di tenda, kuliah D3 yang saya ambil sudah saya lupakan. Saya larut dalam keputusasaan, hidup tanpa harapan. Sering saya menangisi beratnya derita hidup. Tampang jelek, miskin, tidak pula pintar, bahkan untuk berteduh saja kami bergantung pada tenda.
Mengenai si Laksmi (nama samaran, pen) itu, sejujurnya kami dijodohkan. Orang tuanya si Laksmi datang ke rumah kami, dua tahun sebelum gempa menyisiri rumah-rumah di Bantul. Seiring berjalan waktu, kami pun mulai akrab, dan saya pun merasakan ada cinta untuknya. Saya sadar diri, itulah makanya saya tidak menolak permintaan ayahnya seketika itu. Saya akui, Laksmi adalah wanita biasa, bukan keturunan kraton, juga tidak secantik artis sinetron, juga bukan orang kaya, juga bukan keluarga terpandang. Biasa. Ini pulalah yang membuat saya tidak menolak tawaran orang tuanya. Seketika itu, kami merasa sekufu. Kami merasa senasib sepenanggungan. Tapi, setelah kejadian itu, saya tidak menyangka dia akan bersikap seperti itu.
Di saat-saat terpuruk tersebut, saya diingatkan orang tua untuk rajin shalat. Rajin baca al Qur’an. Selang beberapa waktu kemudian, Allah menghendaki saya bangkit. Saya berjanji, akan mengubah takdir kehidupan yang melarat ini. Saya kembali ke kampus, meneruskan kuliah yang terbengkalai. Sebelum atau sesudah jam kuliah, saya bekerja. Saya lakukan apa saja, yang penting halal. Saya merintis lembaga event organizer (EO) bersama-sama teman, saya jadi MC, mengisi training. Lulus D3, saya lanjut S-1 sembari mengisi training di berbagai tempat. Setelah lulus S-1, rumah untuk orang tua juga selesai. Saya ikut tes CPNS, dan alhamdulillah lulus. Saya pun siap dana untuk membeli mobil.
Tapi, saya tunda rencana beli mobil. Saya justru beli motor butut, dan memakainya ke mana-mana, kecuali pada acara training dan seminar.
Saya masih berpenampilan seperti dulu, tidak ada yang berubah. Entah angin apa yang membawanya, tiba-tiba Laksmi kembali mendekatiku. Ia mengajakku menikah. Ia jadi begitu baik. Orang tuanya pun datang menghiba. Tapi, saya tidak bisa. Saya tidak bisa hidup dengan perempuan seperti itu.
Bagiku, perempuan yang layak dinikahi adalah wanita yang tidak melihat calon suami dari banyaknya harta, tingginya jabatan, atau embel-embel dunia lainnya. Tetapi, ia memilih calon suami karena ia benar-benar mencintainya, sebab lelaki itu berakhlak baik dan bisa dijadikan imam baginya.
Beberapa bulan kemudian, Allah mempertemukan saya dengan gadis yang menyita perhatianku. Ia membuatku terpesona disebabkan akhlaknya dan agamanya yang bagus. Ia menerima diri saya apa adanya. Ia pun sering bilang, ‘ia suka lelaki dewasa seperti saya.’ Tahun-tahun pertama pernikahan dengannya, kami ke kantor masih pakai motor butut yang terkadang mati saat berjalan, mogok. Saat saya bilang hendak beli mobil baru, ia bahkan melarang. ‘Tidak usah mas, motor ini sudah cukup kok. Saya senang kemana-mana pakai motor ini.’
Majleb! Ditawarin mobil baru, malah mintanya motor butut saja. Setelah punya anak dua, barulah ia menyetujui untuk beli mobil. Kami hidup dalam kesederhanaan, bahagia. Alhamdulillah, itulah indahnya menikah dengan wanita yang tepat. Wanita yang tepat itu adalah wanita shalihah.'”
( Ditulis oleh: Baba Ali Pakar Ketahanan Keluarga, diangkat dari kisah nyata)
0 komentar:
Post a Comment