Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. Ma'af Pak, saya mau tanya. Suatu hari sesampai di rumah, suami saya pulang dengan wajah kusam. Terlambat membuatkan teh, marah. Minta ambilin handuk dengan nada keras. Anak-anak dibentaknya, setelah itu ia tidur hingga waktu magrib.
Mungkin terbawa emosi, saya pun tidak kuasa menahan air mata hingga malam. Saya begitu sedih, kenapa mendadak saya diperlakukan seakan orang yang hanya menyusahkan hidupnya. ia terpaksa bekerja demi memberi kami makan. Bukankah itu kewajiban seorang suami? Bukankah anak istri adalah tanggungan suami, dan kelak juga akan dipertanggungjawabkan. Saya heran, benar-benar heran. Sebab, kok bisanya suami saya berlaku kasar seperti itu? Apakah disebabkan pekerjaan yang sangat menekan jiwanya? Bukankah bekerja adalah ibadah?
Dan, saya tahu persis bahwa ia rajin ikut kajian pekanan. Setahu saya selama ini agamanya lumayan bagus. Tapi, sekarang kok begini? Kami serumah kena semprotnya.
Melihat saya menangis, ia pun mencoba mengiba, lalu minta maaf. Namun, saya belum bisa memaafkan ustadz. Saya tahu ini salah. Cuma, mulutnya sudah terlanjur menyayat-nyayat hati ini. Kami trauma.
Sampai saat ini, ini hari kedua saya murung. Puasa bicara dengannya, harapannya suami saya bisa belajar dari kelancangannya sebelumnya.
Pertanyaan saya, apakah tindakan saya ini salah? Kalau iya, apa yang harus saya lakukan? Mohon bimbingannya Pak Ali.
(Lina, Dexxxxx)
Jawab:
Ibu Lina yang baik, terimakasih atas pertanyaannya. Semoga ibu dikuatkan olehNya, semakin bijak dalam menyongsong badai rumah tangga. Aamiin.
Manusia adalah makhluk yang sempurna dengan adanya ketidaksempurnaan dalam dirinya. Artinya, dengan ketidaksempurnaannya itu menjadikan ia sempurna sebagai manusia. Sebab, kesempurnaan yang hakiki hanyalah milik Allah semata.
Ketidaksempurnaannya ini sering disebut sebagai Ad-da'if (lemah). Kelemahannya tersebut bisa berupa kekhilafan, kesalahan yang disengaja, kebodohan, kekurangan, dan lain sebagainya.
Kelelahan dan banyaknya masalah di kantor telah menguasai dirinya, dan membuat dirinya tidak berdaya. Dalam hal ini, sebaiknya justru ibu sebagai istri memaklumi hal ini. Memaafkan suami tatkala ia minta maaf malam itu. Lalu, memberinya nasehat dengan kelembutan. Memberinya support (dukungan) berupa semangat dan keyakinan akan berkahnya rezeki yang didapatkan dengan cara yang halal. Membantu suami dengan memijitnya. Dan, mendoakannya semoga si suami semakin kuat, tegar, dan semakin shalih.
Simak pula: "Bersama Ribut, Berjauhan Rindu"
Ini yang sebaiknya ibu lakukan. Namun bila ibu tidak memberi maaf, kemudian malah mendiamkan. Hati-hati, perbuatan ini adalah bentuk pembangkangan atas kelemahan suami. Seluruh malaikat, dan makhluk apa saja di langit dan di bumi melaknat istri-istri yang nusyuz (durhaka).
Tataplah wajah suami yang penuh dengan guratan lelah tersebut, rangkullah ia erat-erat. Peluklah ia penuh cinta. Bisikkan padanya, aku bangga dengan kerja kerasmu menafkahi kami dengan yang halal.
Ingatlah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 199:
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh."
Sementara itu Rasulullah Saw bersabda:
“Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya/kekasihnya) kecuali kemuliaan baginya(di dunia dan akhirat)” [HR. Muslim no. 2588]
Mari jadikan kekasihmu sebagai ladang pahala dalam rangka menggapai keridhaan Allah SWT.
( Dipandu langsung oleh Baba Ali Pakar Ketahanan Keluarga, Pengasuh Samara Center, Penulis buku "harmonis di dunia bersama di surga")
0 komentar:
Post a Comment