Semenjak sang suami meninggal, Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah tak
punya pilihan selain membesarkan anak lelaki semata wayangnya seorang diri. Mengambil
upahan dan membuat makanan ringan, untuk bertahan hidup.
Suatu hari, si anak bercerita bahwa ia baru saja menikmati segelas susu
yang dikasih oleh tetangganya. Tetangganya itu berprofesi sebagai orang pintar
(dukun). Sang ibu langsung menggiring anaknya ke kamar mandi, lalu memasukan
jarinya ke mulut sang anak, hingga si anak muntah, dan keluarlah semua susu
yang telah diminum tersebut. Fatimah sangat ketat dalam menjaga kehalalan
setiap makanan yang masuk ke perut anaknya itu. Ia rela kelaparan berhari-hari
daripada memakan makanan haram. Ia rela berpakaian lusuh ketimbang mengenakan
pakaian yang dibeli dengan uang haram. Begitulah prinsip hidup yang telah
mendarah mendaging dalam jiwa dan raganya. Final, sudah tak bisa ditawar-tawar.
Seiring berjalannya waktu, anak itu tumbuh menjadi anak yang hebat dan
shalih. Usia sembilan tahun hafal Qur’an 30 Juz. Usia 11 tahun hafal puluhan
ribu hadist. Usia 15 tahun sudah diizinkan memberikan fatwa di Masjidil Haram. Fatwanya
dipakai oleh mayoritas kaum muslimin sedunia. Siapakah anak kecil itu? Dia
adalah Imam Syafii rahimahullah ta’ala, Si anak yang lahir dan tumbuh dari
rezeki yang halal.
Kisah nyata ini semestinya menjadi ibroh
(pelajaran) penting bagi kita sebagai orangtua yang merindukan anak
shalih-shalihah. Anak shalih shalihah hadir ditengah-tengah kita bukanlah
produk sim salabim. Ia ada di tengah-tengah kita, sebab ikhtiar besar kita
sebagai orangtua. Ikhtiar besar itu berupa memilih calon pasangan yang shalih shalihah,
menikah dengan proses yang syar’iyah, makanan keluarga yang jelas halalnya,
pendidikan keluarga yang berorientasi akhirat, hingga keteladanan dari orangtua.
Mari kita tela’ah satu bagian saja, yakni makanan keluarga yang jelas
halalnya. Seorang suami harus mengerti bahwa nafkah yang diberikan kepada
istrinya wajib yang halal saja. Seorang istri pun perlu tahu bahwa nafkah yang
diberikan suaminya benar-benar halal, tidak bercampur aduk dengan yang haram. Atau
masih diragukan kehalalannya, alias syubhat. Hal ini perlu dilakukan, jika
merindukan anak yang shalih shalihah.
Kenapa punya anak harus shalih shalihah? Sebab anak yang shalih
shalihah adalah investasi terbaik dunia akhirat. Di dunia, orangtuanya
dihormati, dan dicintai. Kelak di akhirat, ia menjadi penolong bagi orangtua.
Do’a anak shalih shalihah, sedekahnya, dan semua kebaikannya juga mengalir
untuk orangtuanya.
Adalah lucu, tatkala kita sebagai orangtua menginginkan anak-anak kelak
tumbuh menjadi anak-anak yang shalih sementara kita tak jarang menyuapinya
dengan makanan yang haram atau syubhat. Baju sekolahnya bisa jadi dari uang
haram atau campursari (halal haram hantam), biaya sekolahnya dari rezeki yang
tidak halal.
Seringkali kita menemukan orangtua yang menyekolahkan anaknya ke pondok
pesantren, tetapi sang anak tetap begundal. Kabur dari pondok. Terlibat
tawuran. Mengkonsumsi narkoba. Memicu berbagai keributan. Menyusahkan para
kiyai. Ada juga yang tetap lulus ponpes dengan nilai seadanya, namun tetap tidak
menjadi sosok yang diharapkan orangtua. Bahkan yang terparah lagi, setamat dari
pondok jadi maling (koruptor), pezina, dan sampah masyarakat dalam bentuk yang
lain.
Kenapa hal demikian terjadi? Sebab si santri dibiayai dengan uang haram.
Tidak ada keberkahan di dalamnya. Sekolahkan anak ke ponpes itu sangat bagus. Bahkan
kalau bisa, para orangtua berbondong-bondong memondokan anaknya, agar pondasi
agama si anak kuat. Nah agar hasilnya juga bagus, maka orangtua juga berkewajiban
membiayai putra-putrinya dengan rezeki yang halal. Kalau begini adanya,
insyaAllah lulusannya shalih shalihah semua.
Tak sedikit pula anak yang disekolahkan pada sekolah favorit, biaya
mahal, ikut les berbayar tinggi, tetapi anaknya tetap suka mengecoh ayah
ibunya. Pacaran sana sini, merokok, terkadang ikut-ikutan menenggak miras. Anak
gadis kuliah mahal-mahal, baru semester 5 pulang-pulang buncit (hamil). Kuliah
tak selesai, orangtua menanggung malu. Keadaan seperti ini tidak boleh serta
merta menyalahkan si anak, tetapi evaluasilah diri kita sebagai orangtua.
Sudahkah kita memberinya makan dan minum dari rezeki yang halal saja?
Membiayainya dengan rezeki yang halal?
Ketahuilah oleh kita semua, bahwa tak ada keinginan yang terijabah
tatkala yang berkeinginan masih bergelimang harta haram. Kecuali Allah tengah
memainkan istidraj (Azab berupa nikmat). Tak ada do’a yang terkabulkan ketika
yang berdo’a masih berlumuran rezeki haram. Melainkan Gusti Allah tengah
memainkan istidraj. Keinginan mendapatkan anak yang shalih shalihah tak bisa
didapatkan dengan jalan yang haram.
Rasulullah Saw menceritakan perihal seorang lelaki yang sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang berambut kusut, kusam dan berdebu, yang menadahkan tangan ke langit lalu berdoa: “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan makanan yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan?” [HR. Muslim]
Selanjutnya. Menjadi sia-sia sebuah niat baik, perbuatan baik, jika masih diiringi oleh harta yang haram. Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “...Barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya.” [HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]
Selanjutnya. Menjadi sia-sia sebuah niat baik, perbuatan baik, jika masih diiringi oleh harta yang haram. Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “...Barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya.” [HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]
Seorang waliyullah, Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah ta’ala berkata,”Barangsiapa
yang menginfakkan (harta) yang haram dalam ketaatan (kepada Allah), maka dia
seperti orang yang membersihkan (mencuci) pakaian dengan air kencing, padahal
pakaian tidak dapat dibersihkan kecuali dengan air (yang bersih dan suci),
(sebagaimana) dosa tidak dihapuskan kecuali dengan (harta) yang halal”[ Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabir hlm.118].
Kesimpulannya, agar anak kita shalih
dan shalihah maka besarkanlah mereka dengan rezeki yang halal. Didiklah mereka
dengan rezeki yang halal. Wallahu alam
bisshowab!
(Ditulis oleh: Ust Baba Ali M.ChN, Pengasuh SAMARA CENTER, Penulis Buku
Harmonis di Dunia Bersama di Surga)
0 komentar:
Post a Comment