Sunday, December 4, 2016

Ketahanan Negara Berawal dari Ketahanan Keluarga

Ketahanan keluarga merupakan impian setiap pasangan. Siapa saja merindukan terwujudnya keluarga harmonis, dan bahagia. Semua pasangan berharap demikian, tanpa pengecualiaan. Namun realita berkata lain, tidak semua orang bisa mewujudkannya. Tidak sedikit pasangan muda yang kandas di awal pernikahan karena tidak sinkronnya antara persepsi dengan ekspetasi. Sangat banyak pula pasangan tua yang memilih bubar, sebab ketidakmampuan mengelolah ego dan emosi.

Berdasarkan data Puslitbang Kemenag RI tahun 2014, 2015, dan 2016, angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan drastis, yang sangat mencemaskan. Bila diambil angka rata-rata, setiap hari ada SERIBU KELUARGA yang mengajukan gugatan cerai di kantor Pengadilan Agama se-Indonesia.

Artinya, ada seribu pasangan tiap harinya yang memutuskan bercerai. Anggaplah setiap keluarga memiliki dua orang anak saja, maka otomatis ada 2000 anak yang terlantar setiap harinya. Ada 2000 anak yang kehilangan kasih sayang orang tuanya setiap hati. Ada 2000 anak tiri baru setiap harinya. Ada 2000 anak yang trauma dengan pernikahan orang tuanya setiap harinya. Ada 2000 anak yang berpotensi putus sekolah setiap harinya. Ada 2000 anak yang berpotensi menambah kasus kenakalan remaja, mengkonsumsi narkoba, terlibat judi, pemerkosaan, pencurian, dan lain sebagainya.

Baca Juga: "Ketahanan Keluarga Menjadi Kunci Terwujudnya Ketahanan Sosial"

Inilah akar permasalahan sebuah negara. Bobroknya sebuah negara, tidak terlepas dari bobroknya ketahanan keluarga. Sehingga dalam hal ini, negara semestinya memiliki perhatian besar dan serius.Ketahuilah bahwa, tidak ada negara yang benar-benar kuat tanpa terwujudnya keluarga yang kuat. Keluarga adalah pondasi sebuah negara. Rusaknya keluarga merupakan awal rusaknya sebuah negara.

Inilah fakta yang sesungguhnya, yang teramat beresiko tatkala diabaikan. Mari kita cermati kembali bahwa keluarga yang rapuh melahirkan generasi yang rapuh. Keluarga yang rusak menghasilkan generasi yang rusak. Keluarga yang miskin kasih sayang, mengorbitkan anak-anak yang tidak pandai bertatakrama, tidak pandai menghormati dan menghargai orang lain, suka berlaku kasar, dan maunya menang sendiri.

Para koruptor adalah hasil didikan keluarga. Keluarga dimana ia diajarkan orang tuanya untuk menjadi orang kaya, berjabatan tinggi. Anaknya dituntut sekolah tinggi-tinggi agar menjadi 'orang'. Tidak sedikit Orang tua memacu anaknya bersungguh-sungguh belajar agar kelak menjadi 'ORANG'. 'ORANG' yang dimaksud adalah kaya dan berjabatan tinggi. Akhirnya, yang terbangun pada otak bawah sadar anaknya bahwa sukses itu kaya dan berjabatan tinggi. Kelak dewasa ia selalu merasa gagal, malu, karena belum kaya dan berjabatan tinggi. Obsesi inilah yang membuat tidak sedikit orang memilih jalan instan. Korupsi demi menjadi orang kaya. Menjilat penguasa, bersimpuh pada cukong, sikut kiri sikut kanan, menggadaikan agama, demi meraih JABATAN. Ini adalah hasil didikan keluarga.

Baca Pula: "Keluarga Ibarat Secangkir Kopi"

Para istri koruptor adalah juga produk keluarga. Dalam keluarganya, ia didik untuk mencari suami yang kaya, bertitel tinggi, berjabatan tinggi, dengan melupakan agama dan akhlak. Bahkan kriteria agama dan akhlak seorang lelaki dengan sengaja tidak pernah diajarkan. Saking terobsesi banyak orang tua berhusnushon, "Kalau sudah jadi suamimu, nantia ia akan baik sendiri. Ia akan shalat sendiri. Ia akan shalih dengan sendirinya. Ia akan menjadi lelaki setia dengan sendirinya. Semua itu akan bisa saja dengan sendirinya."

Apakah betul semudah itu? Tepatkah kita berprasangka baik pada seekor ular dengan memasukkan seorang bayi ke dalam kandangnya?

Alhasil, setelah jadi istri, ia pun memaksa suaminya untuk kaya dan terpandang. Dengan berbagai cara ia mempengaruhi suaminya. Akhirnya, si suami pun tak punya pilihan selain menempuh jalan instan, yakni korupsi. Bisa dengan menjual pengaruhnya (Trading Influence), memark-up anggaran, manipulasi data, kongkalikong dengan sunggokong, kolusi, dan nepotisme.

Semua lelaki tau, bahwa kelemahannya ada pada wanita. Ia bisa baik, sebab orang setidurannya baik. Ia pun bisa buas, tatkala wanita yang seranjang dengannya itu berwatak culas.

Dalam hal ini, peran bijak dari negara adalah membina ketahanan keluarga dengan penuh kesungguhan. Berdayakan segenap elemen dan instrumen kenegaraan demi mewujudkan cita-cita mulia ini.

Ketahanan keluarga terwujud, ketahanan negara terwujud. Ini kuncinya!


(Ditulis oleh Baba Ali Pakar Ketahanan Keluarga, Pengasuh Samara Center, Penulis buku "harmonis di dunia bersama di surga")

0 komentar:

Post a Comment