Sunday, December 25, 2016

OM TELOLET OM Dalam Sudut Pandang Ketahanan Keluarga

Suatu ketika si Udin bertanya, "Ustadz, om telolet om itu apaan sih? Boleh nggak sih kita ikut-ikutan om telolet om?"

Sambil menyeruput kopinya si Ustadz menjawab, "Udin, itu kepentingan bisnis belaka. Tujuannya cuma satu: agar bis tidak kalah saing dengan transportasi lainnya. Biar tetap eksis. Biar penumpangnya tetap banyak. Ya kalau bapakmu punya perusahaan armada bis, ya silahkan ikut-ikutan Om Telolet Om...

"Kalau nggak punya, mending belajar sana, ikut pengajian, biar kamu juga eksis..." Tutup si Ustadz.

Sahabat sekalian! Bagi saya pribadi, saya tidak menemukan hal yang baru dengan kata "telolet". Sebab, semenjak tahun 2005, saya sudah mendengar nada klakson telolet. Terutama bis dari arah Bengkulu menuju kota Padang. Dari kejauhan, klakson telolet mengingatkan kami bahwa bis akan datang.Bis-bis yang sudah memakai klakson telolet tersebut tergabung dalam grup PO.Manshiro.

Di samping bukan hal yang baru, kami masyarakat desa juga tidak merasa ada hal yang lucu pada nada "telolet". Itu hanya sebatas klakson bis yang tengah memburu penumpang, itu saja.

Tambah lagi, "telolet" juga bukan sesuatu yang surprise, sebab setiap pagi pukul 06.00 pagi hari kami selalu mendengarnya. Itu dulu, 11 tahun yang berlalu di desa kami. Tidak ada yang istimewa dengan klakson telolet.

Namun, baru-baru ini ada fenomena yang terkesan aneh di beberapa kota besar. Mulai dari anak-anak muda, politisi, bahkan sekelas menteri mulai digandrungi oleh "Om telolet om".

Fenomena apa ini? Terlepas dari hiruk pikuk kepentingan bisnis, saya justru melihat ini sebagai sebuah kemunduran peradaban. Anak-anak muda terutama seusia pelajar dan mahasiswa yang dengan begitu entengnya menghabiskan waktunya di pinggir-pinggir jalan hanya untuk berteriak "Om Telolet Om". Setelah itu sang supir membunyikan klakson bisnya. Terdengarlah telolet...telolet...!
Mendengar bunyi klakson telolet, segerombolan remaja tersebut bersorak-sorai penuh kegirangan. Bangga, dan gembira sekali.

Aksi remaja tersebut bahkan sampai ekstrim. Mereka berani menghadang bis di tengah jalan dari kejauhan untuk menyetopnya, yang kemudian berteriak ramai-ramai, "Om Telolet Om". Klakson pun berbunyi "Telolet, telolet, telolet," mereka kembali bersorak gembira. Aksi ini terjadi hampir di setiap kota di negeri ini.

Dalam sudut pandang ketahanan keluarga, fenomena ini merupakan gejala memburuknya peran keluarga sebagai Madrasatul Ula (pendidikan utama) bagi anak-anak. Ini juga mengindikasikan bahwa proses building character dalam keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya.  Semua ini tentunya berawal dari pincangnya komunikasi suami istri, dan komunikasi orangtua terhadap anaknya.

Ada banyak faktor yang menyebabkan buruknya komunikasi orangtua terhadap anak, diantaranya kesibukan suami istri dalam mengejar karir yang berdampak pada berkurangnya waktu membersamai anak-anak. Selanjutnya, kurangnya ilmu atau wawasan dalam mendidik anak. Diperparah lagi dengan tidak adanya kemauan untuk belajar dan belajar menjadi orangtua yang baik.

Dalam hal ini, akhirnya anak-anak merasakan dampak buruk yang sama-sama tidak diinginkan oleh siapa saja. Dampak tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, anak tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari dalam rumah. Sehingga mereka pun mencari perhatian di luar sana. Salah satu pelariannya adalah mencari perhatian di jalan-jalan dengan meneriakkan "Om Telolet Om". Apa sih yang didapatkan dari Om Telolet Om? Tidak lain dan tidak bukan hanyalah perhatian. Atau bahasa gaulnya caper (cari perhatian). Demi caper ini, mereka rela berdiri di tengah jalan, lelah, hujan-hujanan, dalam kepulan asap kendaraan, bahkan kurang peduli dengan resiko tertabrak.

Kedua, anak tidak mendapatkan pengakuan (eksistensi) yang cukup dari orang tuanya.Ia merasa bahwa kehadirannya dalam keluarga tidaklah penting. Baginya, orangtuanya lebih mementingkan karir, harta, dan lainnya daripada dirinya. Karena merasa kurang diakui dalam rumah, mereka pun terpaksa mencari pengakuan di jalanan. Pengakuan dari supir bis, kondektur, dan pengendara lainnya.

Padahal, sudah menjadi fitrahnya bahwa setiap anak butuh diakui bahwa ia seorang anak dari ayah dan ibunya. Wujud dari pengakuan itu sebetulnya sederhana sekali yakni orangtua memiliki cukup waktu hadir membersamai anak, sehingga anak merasakan kehadiran dan kepedulian orang tuanya.

Ketiga, lemahnya moralitas anak. Fenomena Om Telolet Om ini menunjukan bahwa banyaknya anak-anak yang tidak mengerti moral. Berkarakter cukup buruk. Tidak memahami tatakrama yang baik. Tidak mengerti adab dan sopan santun. Demi klakson telolet, mereka tidak menyadari bahwa telah mengganggu ketertiban umum, mengganggu kelancaran lalu lintas, mengganggu orang lain, dan membahayakan orang lain.

Keempat, anak-anak yang tidak produktif. Semestinya usia-usia remaja dihabiskan untuk menimba ilmu, belajar skill (keahlian), adanya bimbingan dari orang tua untuk belajar bertanggung jawab, belajar Teamwork, belajar tatakrama, dan istirahat yang cukup. Bukan malah sebaliknya, yang memiliki kecenderungan hura-hura dan foya-foya.

Dengan demikian, fenomena Om Telolet Om ini bukan hal yang positif. Tetapi, ini justru peringatan keras bagi orang tua yang kedapatan anaknya terlibat dengan aksi Om Telolet Om ini.

Segeralah evaluasi diri sebagai orangtua, berbenahlah sebelum terlambat, agar tidak menyesal di kemudian hari. Anak adalah investasi dunia akhirat bagi orangtua. Tatkala anak tidak dididik dengan baik, maka ia adalah beban. Sebaliknya, tatkala anak terdidik dengan baik, maka ia adalah harapan.

Ingatlah firman Allah SWT dalam QS.At Tahrim ayat 6, "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari azab neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu..."

“Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan anak keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya, Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An Nisa ayat 9)

Semoga bermanfaat!

( Ditulis oleh Baba Ali Pakar Ketahanan Keluarga, Pengasuh Samara Center, dan Penulis buku harmonis di dunia bersama di surga)

0 komentar:

Post a Comment