Tuesday, September 26, 2017

Merengkuh Cinta Dalam Buaian Pena

Saya tak pernah berjumpa Buya Hamka. Sebab saat beliau meninggal, saya masih balita. Tapi  saya akui dengan sejujurnya, bahwa beliau turut andil membentuk kedirian saya. Dan, mencetak jutaan insan muda berpikiran jernih di berbagai belahan dunia tanpa harus bertatap muka. Kok bisa,ya?

Buya Hamka hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 Madrasah Tsanawiyah (MtsN), tapi sejarah mencatat bahwa beliau bergelar Profesor Doktor. Bahkan beliau meraih tiga gelar Doktor Honoris Causa murni.  Gelar Doktor dari Al Azhar University, University Kebangkitan Malaysia (UKM), dan Universitas Soetomo Mengaji. DR (HC) yang murni atas kapabilitas dan kredibilitas yang mumpuni, bukan sekedar basa-basi apalagi siasat politik. Bukan pencitraan dan sensasi. Kok bisa, ya?

Sampai detik ini, nama HAMKA diabadikan diberbagai perpustakaan kampus belahan dunia, namanya disebut diberbagai forum diskusi, seminar, simposium, ujian skripsi hingga disertasi. Namanya mengharumkan Indonesia di kancah dunia, melesatkan harkat dan martabat bangsa. Kok bisa, ya?

Adam Malik hanya mengikuti pendidikan formal hingga kelas tiga SD di Pematang Siantar, walaupun demikian sejarah mencatat bahwa ia pernah menjadi menteri berkali-kali. Menteri luar negeri, wakil Perdana Menteri, hingga Wakil Presiden RI. Bahkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Umum ke-26 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kok bisa ya lulusan SD menempati posisi sementereng itu?

Semua fakta di atas jawabannya sama, bahwa mereka semua menulis. Buya Hamka seorang penulis ulung. Multitalenta. Lewat tekun membaca buku, ia mampu menguasai berbagai disiplin ilmu. Mulai dari Bahasa dan Sastra, Sejarah, Fiqh Islam, Dakwah, hingga Tafsir.

Sementara Datuk Adam Malik mengawali profesi menulisnya dengan pelajaran mengarang cerita. Ya, mengarang cerita. Pelajaran yang paling menyenangkan bagi yang suka berimajinasi. Beliau paham betul perkataan Albert Einsten, “Imagination is important than knowledge.”

Lihat sejenak biograpi R.A Kartini. Beliau dikenal bukan karena keberaniaannya, dan juga bukan sebab perjuangannya yang menakjubkan. Sebagaimana halnya Cut Malahayati, Panglima Perang Angkatan Laut Wanita pertama di dunia. Juga bukan seperti Bundo Rahmah El Yunusiah yang memiliki jaringan sekolah islam putri terbesar se-nusantara seketika itu.

R.A Kartini tidak seheroik mereka, juga bukan setangguh mereka. Bahkan R.A Kartini juga tidak pas dikatakan sebagai sosok pejuang emansipasi wanita. Kenapa? Sebab R.A Kartini adalah sebagaimana wanita jawa pada umumnya, lembut, dan penurut. R.A Kartini sendiri juga tidak setuju dengan konsep emansipasi. Terbukti, saat ia menerima pinangan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat dengan sukarela sebagai istri keempat. Selanjutnya, R.A Kartini menjaga tradisi luhur berpakaian perempuan Jawa. Berpakaian sopan. Ia menjaga diri dari pergaulan bebas, bahkan untuk keluar rumah sendirian pun ia tidak pernah. Selalu saja, ada teman sebaya yang menemaninya.

Lalu, hal apa yang membuat R.A Kartini lebih unggul dibanding pejuang-pejuang wanita lainnya? Adalah pemikirannya yang cemerlang yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Ya, R.A Kartini menulis, sementara yang lain tidak.  

Saudaraku, dari kesemua prestise tersebut ada yang paling berharga. Saking berharganya, ia bisa menjadi pemberat timbangan kebaikan kita kelak pada saat yamul mizan (hari penimbangan amal). Ia bahkan bisa menjadi asbab kita layak meraih JannahNya. Apakah itu? Ia adalah amal jariyah, dan ilmu yang bermanfaat.
Kita tentu ingat sabda Nabi Saw, “Jika anak adam meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara yaitu sedekah jariyah (amal jariyah), ilmu yang bermanfaat, do’a anak yang shaleh.” (HR.Muslim no.1631)

Nah dalam hal ini, seorang penulis insyaAllah mendapatkan poin pertama (amal jariyah) dan poin kedua (ilmu yang bermanfaat).

Selain itu, masih hangat di benak saya nasehat Hadratus Syaikh Muhammad Al Ghazali. Beliau merupakan gurunya Syaikh Yusuf Al Qaradhawi (Ketua Persatuan Ulama Internasional). Tak hanya itu, beliau juga menjadi rujukan Ikhwan di Mesir. Tempat bertanya dan meminta fatwa dari para masayikh, termasuk Syaikh Hasan Hudhaibi. Apa kata Syaikh Muhammad Al Ghazali rahimahullah ta’ala? Beliau berkata, “Dalam hidup ini hanya ada dua pilihan. Mereka yang menciptakan dan menyebarkan fikroh (pemikiran), atau mereka yang dipaksa bersimpuh mengikuti sebuah fikroh. Maka sebaik-baik di antara kalian adalah yang menjadi bagian  dalam menciptakan dan menyebarkan fikroh itu sendiri.”

Saudaraku, dakwah ini membutuhkan karya-karyamu, agar ia membumi. Berhembus semilir menyejukan akal-akal yang gersang dan membasahi hati-hati yang tandus. Menulislah, menulislah, dan teruslah menulis hingga kematian menjemputmu. Kuburmu terang benderang sebab karya-karyamu mencerahkan orang. Engkau dibangkitkan dengan naungan lembaran-lembaran karyamu. Dan masuk surgaNya, sebab tulisan-tulisanmu yang diberkahiNya.

Wallahu alam bisshowab!!!

(Ditulis oleh Ust Baba Ali, Pegiat Literasi Rakyat, Pengasuh SAMARA CENTER)

0 komentar:

Post a Comment