Friday, August 11, 2017

Sogok Menyogok Demi Pekerjaan, Hukum dan Status Gajinya

Siapa yang bertawakkal, rezekiNya dalam jaminan Allah SWT. Sehingga ia tidak perlu berlaku curang.

Ada seseorang yang sudah dinyatakan lulus sebagai PNS, namun NIP-nya ditahan oleh pejabat terkait. Agar NIP bisa keluar, maka harus bayar. Maka menyogok untuk mendapatkan NIP dalam hal ini dihukum boleh, tidak berdosa. Kenapa menyogok dalam hal ini tidak berdosa? Sebab mempertahankan hak milik yang terzalimi. Sementara si penerima suap dihukum berdosa besar.

Hak milik yang dimaksud disini adalah sesuatu yang betul-betul sudah menjadi milik pribadi, atau setiap orang pasti mendapatkannya tanpa pengecualian. Semisal SIM (Surat Izin Mengendara), KTP (Kartu Tanda Penduduk), KK (Kartu Keluarga), dan lain sebagainya. Bila dalam hal ini ada pungutan liar yang memaksa, maka membayar sejumlah uang (sogok) dalam hal ini tidak terhitung sebagai dosa.

Al-Qurthubiy menyebutkan dalam tafsirnya bahwa Wahab Ibn Munabbih ditanya: “Apakah sogokan diharamkan dalam segala hal?”,  beliau menjawab: “Tidak, yang termasuk risywah (sogokan) adalah jika engkau membayar sesuatu agar engkau mendapat apa yang bukan hakmu atau menghindar dari sesuatu yang merupakan kewajibanmu. Adapun engkau menyerahkan harta (sogokan) untuk menolak kedzaliman terhadap agamamu, dirimu dan hartamu maka hal itu tidak diharamkan.” Berkata al-faqih Abu al-Laits as-Samarqandiy: “Pendapat ini yang kami pilih, tidak mengapa seseorang membayar sogokan untuk menolak kedzaliman atas diri dan hartanya. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari sahabat Abdullah Ibn Mas’ud bahwa beliau pernah membayar risywah sebesar dua dinar agar beliau dibebaskan (dari kedzaliman) dan beliau berkata: “Dosanya ditanggung oleh si penerima dan bukan yang memberi.” (Tafsir al-Qurthubiy bab 6, hal. 183-184).

Syeikh Ibn Utsaimin rahimahullah ta’ala berkata: “Adapun sogok yang tujuannya untuk mendapatkan hak seseorang dikarenakan ia tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan membayar sejumlah harta, maka hal ini menjadi haram buat si penerima (sogokan), dan tidak haram bagi si pemberi, karena ia memberikan hal itu dengan tujuan agar ia mendapatkan haknya, adapun yang menerima sogokan maka ia berdosa karena ia telah mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Fatawa Islamiyah bab 4, hal.302).

Dalam hal ini memang ada ikhtilaf (perbedaan pendapat). Menurut sebagian ulama, memberikan sejumlah uang atau benda lain seperti disebutkan di atas, dalam bentuk dan keadaan apapun, tetap termasuk suap dan tetap diharamkan karena dalil pengharaman suap itu umum, tidak ada yang mengkhususkannya. (lihat Kitab Nailul Author, bab 9 hal.172, yang ditulis oleh Imam Assyaukanie rahimahullah ta’ala).

Kondisi yang paling aman adalah dengan tidak berbuat suap. Cari pekerjaan lain. Bumi Allah SWT itu luas, ada banyak pintu rezeki yang tak bersentuhan dengan suap-menyuap.

Sementara untuk kasus berikut ini:

Ada seorang pejabat menitipkan anaknya kepada panitia seleksi CPNS, tujuannya agar anaknya diloloskan jadi PNS. Dan, si anak akhirnya keterima sebagai PNS. Ini hukumnya haram. Ini berlaku untuk semua profesi.

Sang anak gagal pada tes tahap IV pada sebuah profesi cilukba, lalu ayahnya menyogok pejabat terkait hingga sang anak dinyatakan lulus. Ini hukumnya haram.

Ada penerimaan personil baru pada profesi similikiti. Diantara sekian banyak persyaratan, rupanya ada persyaratan tersembunyi (tas). Angkanya fantastis, berkisar antara 100 – 250 juta. Siapa yang bayar, dipastikan lulus. Sebab ada kepastian, si orangtua langsung membayarnya tunai. Ini hukumnya haram.

Pasca ujian tertulis. Pejabat jurusan X kampus terkenal, menganjurkan setor sejumlah uang dalam jumlah yang besar sebagai persyaratan agar si calon mahasiswi diterima sebagai mahasiswi. Tanpa banyak pertimbangan, si orantua langsung bayar. Ini hukumnya haram.

Kenapa kasus-kasus tersebut dihukum haram? Sebab mereka menyogok untuk mendapatkan apa-apa yang bukan haknya. Mereka menyabet hak orang lain (berbuat zalim), yang notabene lebih baik, lebih mampu, pantas dan layak menempati posisi tersebut daripada dirinya. Ia merebut hak orang lain dengan cara curang, yakni menyogok (risywah).

Allah berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa (urusan ) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(QS. Al-Baqarah : 188)

Ibnu Hajar Al-Haitsami rahimahullah menafsirkan dalam ayat “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui hal itu tidak halal bagi kalian.”

Siapa saja yang disuap, atau memaksa diberi suap? Mereka bisa bernama hakim, jaksa, Panitia CPNS, pihak kepolisian, pimpinan instansi/lembaga tertentu, dan lainnya. siapa saja bisa berpotensi disuap, atau memaksa diberi suap.

Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu berkata, “Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam melaknat pemberi suap dan penerimanya.” (HR Abu Dawud 3582, At Tirmidzi 1386, Ibnu Majah 2401, Ahmad 6689 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Misykat Al-Mashobih 3753)

“Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Dalam hadits di atas, ditegaskan bahwa laknat (murka) Allah bagi penyogok dan yang disogok. Siapa saja yang dilaknat oleh Allah, lalu ia mati dalam keadaan belum bertaubat, maka tempatnya adalah neraka.  Bagaimanakah bertaubatnya para penyuap dan yang disuap? Taubat nasuha. Bagaimanakah taubat nasuha itu? Ialah taubat dengan 3 syarat: memohon ampun kepada Allah (istighfar dan shalat sunnah taubat), mengembalikan hak-hak orang lain, berjanji sepenuh hati bahwa tidak akan mengulanginya lagi.

Lalu, bagaimana dengan gaji dari pekerjaan yang didapat dengan cara menyuap tersebut?

Gajinya halal, selagi mereka bekerja dengan profesional, disiplin, penuh tanggungjawab, dan tidak menyalahgunakan kewenangan yang diamanahkan. Gaji itu berubah jadi haram, tatkala ia bekerja tidak profesional, tidak disiplin, tidak bertanggungjawab, dan menyalahgunakan jabatan. Sementara proses suapnya untuk mendapatkan pekerjaan tersebut tetap haram, dan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Bagaimana pula dengan suap mendapatkan proyek? Bila mendapatkannya dengan jalan kecurangan (menyuap/sogok), maka dapat dipastikan hasil dari pengerjaan proyek tersebut jauh dari optimal. Seringkali mengecewakan, tidak sesuai target/perencanaan. Buruk, cepat rusak, dan asal-asalan. Kenapa demikian? Sebab, anggarannya sudah terpangkas di awal-awal. Pihak yang menyogok berdosa, yang disogok berdosa. Keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan proyek tersebut adalah harta haram.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Saw telah bersabda: "...barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya’. [HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]

Hadits di atas menegaskan kepada kita bahwa harta haram tidak memberikan kemanfaatan kepada kita, bahkan disedekahkanpun hanya menambah dosa.

Kenapa ada orang yang mau menyuap, dan ada pula yang memaksa untuk disuap? Sebab ingin kaya secara instan. Kaya tanpa bersusah payah. Orang seperti ini berprinsip, dengan kaya hidupnya jadi berharga. Penuh sanjungan, pujian, pernghormatan, dan yang paling pasti semua yang diinginkan bisa didapatkan dengan mudah. Inilah yang dinamakan syahwat. Alasan yang lebih utama adalah tak mengerti agama. Sebab tak mengerti agama, akhirnya berbuat sesuka hawa nafsunya.

Rasulullah Saw bersabda, “Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal kepada-Nya, niscaya Allah akan memberikan kepada kalian rezeki sebagaimana Ia memberi rezeki kepada seekor burung yang keluar di pagi hari (meninggalkan sarangnya) dalam keadaan lapar dan pulang kembali ke sarangnya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad no. 205, Ibnu Majah no. 4164 dan hadits ini dishahihkan oleh al-Albaniy, lihat: Silsilah al-Ahaadits as-Shahiihah no. 310 1/260).

Hadits di atas menegaskan bahwa siapa yang mengerti agama, maka ia akan ta’at kepada aturan Allah. Siapa yang bertawakkal, rezekiNya dalam jaminan Allah SWT. Sehingga ia tidak perlu berlaku curang.

Rezeki itu sebetulnya, diambil dengan cara yang benar atau dengan cara yang curang, dapatnya itu juga. Jumlahnya sebanyak itu juga. Tidak bertambah, dan tidak pula berkurang. Sehingga semuanya tergantung kepada kita; bersabar atau tergesa-gesa, ikut perintah Tuhan atau perintah setan.

Seberapa burukkah harta dari hasil suap/sogok?

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram." [HR. Ibn Hibban dalam Shahihnya]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Allah tidak menerima shalat seorang yang di dalam perutnya ada (makanan) yang haram, sampai dia bertaubat kepada Allah dari perbuatan tersebut”[ Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabir hlm.118 dan Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.101].

Semoga Allah membimbing kita ke jalanNya yang lurus, selamat dari bahaya harta sogok menyogok. Aamiin.

Wallahu alam bisshowab!

(Ditulis oleh: Ust Baba Ali M.ChN, Pengasuh SAMARA CENTER)

0 komentar:

Post a Comment