Tuesday, November 15, 2016

Menulis ampuh meyakinkan calon mertua


Apa benar nih ada kaitannya menulis dengan calon mertua? Hmm, ada nggak ya? Berdasarkan pengalaman saya dan kawan-kawan, effect menulis mempercepat proses acc dari calon mertua. Hahhh! Hupss, jangan kaget dulu dong. Jadi begini ceritanya, pasca ta’aruf (perkenalan yang mengharu biru itu), kami diberi waktu 1 minggu untuk istikharah oleh MR (Murobbi/Murobbiyah). Tak dinyana, ta’aruf yang membuat saya tak berdaya ngomong itu, si dia juga sama, padahal di depan dosen penguji nyantai aja loh, justeru di depan ‘calon’ jadi memble, hasilnya double OK. Saya OK, Si dia juga OK.

Setelah double OK, tahap selanjutnya sosialisasi ke masing-masing ortu. Ortu saya komennya sih, “Lanjutkan perjuanganmu, Nak!”. Jawabku,”Alhamdulillah Ya Allah!” Perjuangan saya bertahun-tahun memahamkan ortu berhasil. Untuk si dia, bagaimana? Isteri ternyata juga berhasil. 2 bulan kemudian kami menikah.

“Calon suami penulis itu cepat meyakinkan calon mertua. Caranya? Tinggal liatin bukunya.” Saya sering menyampaikan hal ini di berbagai seminar kepenulisan, terutama di kampus-kampus. Status mereka yang masih jomblo saya manfaatkan agar kecipratan virus menulis. Agar bersemangat menulis. Isteri saya mengaminkan pernyataan itu. Hmm, berarti bisa jadi dia pakai senjata pamungkas itu dulunya untuk meyakinkan orang tuanya. Pikiran mbelingku. Hehehe.

Saya pikir, hal itu masuk akal. Bisa dinalar secara objektif. Buku sangat efektif mempengaruhi orang lain. Calon mertua bisa membedah calon menantunya dari buku yang ditulis oleh mantunya tersebut. Dari buku, mertua mengetahui cara berpikir calon mantunya, kualitas pribadi, kebaikan akhlak, persistensi, konsistensi, kedalaman pemahaman agama, dan lain-lain. Sudah barang tentu, semakin bagus kualitas pisau bedahnya (ilmu si mertua) semakin banyak ia mengetahui dan keakuratan hipotesisnya tentang calon menantunya. Buku sudah mewakili kualitas calon suami anaknya. Mertua seperti ini sudah mulai kurang memperhatikan foto santai anda yang terlampir pada biodata.

Ada juga pengalaman dari teman-teman penulis, yang si calon mertua ternyata setengah penggemar buku-bukunya dia. Ngitung-ngitung umur sudah mulai beranjak usia 25 tahun, ia suka sama salah seorang gadis. Katanya Si vokalis Wali, “Dia gadis berkerudung merah….Dia cantik, dia sholehah.” Pada sebuah momen bedah bukunya dia, dia mendatangi si gadis yang masih berstatus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri.

“Ma’af mbak, apa njenengan sudah ada yang mengkhitbah?” Tanya si lelaki.

“Maksudnya?” Si gadis kaget, wajahnya memerah, dan banyak menunduk.

“Kalau belum, saya mau melamar mbak jadi isteri saya?”

“Hahhh. Ma’af mas, abis ini saya mau kuliah. Udah dulu ya!Ma’af.”

Menatap si gadis meninggalkannya begitu saja tanpa jawaban yang terang, membuat Syair Wali kembali mengusik jiwanya,”Apa salahku, apa pula dosaku, sehingga kau acuh padaku…”

Ingin rasanya ia mengejar gadis itu. Cintanya makin membesar, ibarat bisul seolah hendak meletus. Tapi ia sadar, ia tak lagi kebisulan. Ia paham perasaan, ia mengerti gejolak hati kaum hawa. Sebagai penulis buku-buku tentang remaja, cinta, dan nasehat-nasehat agama, ia tersadarkan bahwa diamnya seorang gadis berarti setuju.

“Yes yes,Horeee…” Teriaknya.

Setelah berhari-hari berprofesi jadi-jadian sebagai inteligent, ia mendapatkan juga biodata lengkap si gadis. Kapan lahirnya, siapa namanya, orang tuanya siapa, dan dimana alamatnya. Ia pun  mengunjungi rumah si gadis.

“Ibu, perkenalkan saya si fulan…”

“Penulis buku itu, itu, dan itu ya…?”

“Iya.”

“Wahh, ibu senang banget baca karya panjenengan. Bahasannya begitu menyentuh. Saya punya banyak koleksinya. Ntar ya tak ambilin, syukur-syukur njenengan bubuhkan tanda tangan.”

Tak lama kemudian Si mbak pembantu datang membawa minuman dan camilan, kemudian disusul si ibu sembari menenteng beberapa buku. Mereka pun hanyut dalam diskusi panjang tentang buku-buku tersebut. Isi dan proses kreatif menulisnya. Seakan Si ibu seorang dosen yang tengah menguji mahasiswanya, sesekali memuji.

“Ngomong-ngomong, tumben penulis mau mampir ke rumah saya. Apa gerangan, mas fulan?”

“Gini bu, saya berniat melamar puteri ibu.”

“Mau melamar puteriku yang mana ya mas. Alhamdulillah anakku iki wedog kabeh, jumlah 7. Selisih setahun semua. Yang pertama dokter, yang nomor kaleh guru, yang nomor telu baru selesai wisuda, yang nomor papat masih semester 6, yang 3 lagi masih SMA.”

“Yang berkerudung merah itu loh, bu. Sering ke kampus pakai payung merah juga.”

“O, si Fitri. Ngomong-ngomong sampeyan sudah pernah matur ke Fitri langsung?”

“Sampun bu, kemarin, 3 hari yang lalu. Mbak Fitrinya diam saja.”

“Mmm, itu sinyal bagus toh, Nang! Baiklah, kalau begitu saya bicarakan dulu sama Fitri dan bapak’e ya. Jawabannya nunggu minggu depan.”

I bulan kemudian mereka bersanding di pelaminan. Indahnya…

( Ditulis oleh Ali Margosim , Penulis buku LYMA, dan Trainer)


0 komentar:

Post a Comment