Arek-arek Suroboyo
meletus tahun 1936, siapakah yang menggerakan? Pemuda. Pertempuran 5 hari di
semarang pada tanggal 15 oktober 1945, siapakah pejuangnya? Pemuda. Tentara
PETA, siapakah mereka? Pemuda. Cikal-bakal berdirinya NKRI lewat sumpah pemuda pada
tanggal 28 oktober 1928, siapakah yang mencetuskan? Pemuda. Proklamasi
kemerdekaan RI akhirnya diproklamirkan juga setelah insiden Rengasdengklok,
siapakah aktornya? Pemuda. Tumbangnya rezim diktator tahun 1998, siapakah yang
menumbangkan? Pemuda.
Itulah
segelintir peran yang pernah dimainkan oleh pemuda untuk negeri ini. Sejarah
mencatat dengan tinta emasnya, negara apa saja di belahan bumi mana saja menyadari
bahwa pemuda adalah aset bangsa. Pemuda adalah kekuatan bangsa (The Power of Nation). Pemuda adalah
pelopor perubahan bangsa ( Agent of
change). Pemuda adalah harapan bangsa. Di tangan pemuda-lah, masa depan
suatu bangsa ditentukan.
Inilah alasan yang membuat bapak bangsa, Ir
Soekarno, meminta 10 orang pemuda—bukan 10 orang tua untuk membangun bangsa ini
menjadi bangsa yang kuat (adidaya). Beliau berkata, “Berilah aku sepuluh orang
pemuda, maka aku guncang dunia.”
Tidak
hanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam urusan akhirat pun, pemuda
tetap diposisikan sebagai garda terdepan. Nabi Muhammad Saw menunjuk Hudzaifah
Ibnul Yaman sebagai inteligen dalam berbagai perperangan, siapakah dia? Pemuda.
Zaid bin Tsabit ditunjuk oleh Rasulullah
Saw sebagai sekretaris negara, translator semua bahasa bangsa-bangsa seketika
itu. Siapakah dia? Seorang pemuda belia berusia 13 tahun. Usamah bin Zaid, Sang
Penakhluk Romawi. Siapakah dia? Panglima perang termuda sepanjang sejarah dunia,
usianya kalah itu 19 tahun.
Sekarang.
Sudah waktunya pemuda ambil peran strategis di pentas perpolitikan negeri ini. Regenerasi
sangat dibutuhkan bangsa ini demi masa depan yang lebih baik. Para politisi senior
perlu sadar diri bahwa ia tidak produktif
lagi untuk kemajuan bangsa, disebabkan usia yang telah senja. Ingatan
yang sudah mulai pikun, fisik yang mulai melemah, semestinya membuka pintu
legowo untuk masuknya kawula mudah ke kancah perpolitikan. Mendorong anak-anak muda tampil, dan
memposisikan diri sebagai mentor mereka adalah bagian dari pengabdian dalam
bentuk yang lain.
Anak-anak
muda hadir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Mereka memiliki
energi yang besar, ide-ide besar, kesegaran berfikir (Think Fresh) yang belum terpengaruhi oleh kebiasaan buruk dan
trauma masa lalu. Namun, dibalik kelebihan itu semua ia tetap pada kodratnya
yang memiliki kekurangan di sana-sini, semisal belum memiliki pengalaman
praktis yang mempengaruhi kedewasaan, keluwesan dan keluasan cakrawala berpikir.
Di sinilah peran tetuah. Ia menjadi pengasuh, pengarah, dan pembimbing para
pemimpin muda sehingga potensi besar menjadi karya besar, bukan kesasar.
Dengan
mentoring yang baik, pemimpin-pemimpin muda di berbagai belahan dunia, kini
bermunculan. Mereka tampil dengan enerjik, dan cerdas. Mari kita lihat. Irakli
Garibashvili dilantik menjadi perdana menteri Georgia pada usia 30 tahun. Atifete
Jahjaga terpilih sebagai presiden Kosovo pada usia 36 tahun. Alexis Tsiprahs
dikukuhkan menjadi perdana menteri termuda di Yunani pada usianya 40 tahun. Kim
Jong Un didapuk sebagai presiden Korea Utara pada usia 28 tahun. Syeikh Tamim bin Hamad Al Thani dikukuhkan
sebagai pemimpin tertinggi Qatar pada usia 36 tahun. Jigme Singye Wangchuck IV dinobatkan
menjadi raja Bhutan di usia 17 tahun. Dan seabrek lainnya.
Di
dalam negeri ini pun, pemimpin-pemimpin muda mulai muncul satu persatu.
Katakanlah, Mochamad Nur Arifin menjabat sebagai wakil bupati Trenggalek pada
usia 25 tahun. Makmun Ibnu Fuad dilantik menjadi bupati Bangkalan pada usia 26
tahun. Mardani Maming menjabat sebagai bupati Kabupaten Tanah Bumbu saat berusia
29 tahun. Yopi Arianto dilantik menjadi bupati Indragiri Hulu saat berusia 30
tahun. Ridho Ficardo terpilih sebagai gubernur Lampung saat berusia 33 tahun. Zumi
Zola Zulkifli terpilih sebagai gubernur Jambi saat berusia 35 tahun. M. Zainul
Majdi menjabat sebagai gubernur NTB pada usia 36 tahun. Ridwan Kamil dikukuhkan
sebagai walikota Bandung saat berusia 42 tahun.
Munculnya
pemimpin-pemimpin muda tersebut merupakan angin segar dalam kehidupan
berdemokrasi di tanah air. Dimana dominasi pemain lama “Loe lagi, Loe lagi” sudah
mulai terpinggirkan. Di samping kuantitasnya diperbesar, kualitas para pemimpin
muda harus menjadi perhatian serius. Dalam hal ini sangat dituntut perhatian
serius sekelompok tetuah dalam mentoring atau pengkaderan yang kuat dan tepat. Tidak
bisa main-main, sebab kepemimpinan menentukan hajat hidup rakyat. Nasib jutaan,
bahkan ratusan juta orang ada di pundak seorang pemimpin. Sehingga kredibilitas
sang pemimpin adalah nomor satu. Kredibilitas itu berupa kepribadian yang baik
dan kapabilitas yang mumpuni. Ini adalah syarat mutlak dalam menjalankan
kepemimpinan.
Pencitraan
itu boleh asal sepadan dengan kredibilitas. Tanpa kredibilitas yang kuat,
strategi pencitraannya hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin boneka. Salah
satu ciri pemimpin boneka adalah tidak memiliki pendirian, plin-plan, dan sering menjilat ludah sendiri. Sekali lagi, tanpa
kredibilitas pemimpin muda tak ada nilai tambahnya. Tidak ada yang perlu
dibanggakan.
Apa
yang diharapkan bangsa ini pada pemimpin muda? Tidak lain adalah ide-ide
besarnya, yang berwujud pada kerja-kerja besarnya. Tak ada kerja, tak ada guna.
Siapapun harus legowo mundur tatkala dia tidak mampu menjalankan tugasnya.
Tidak boleh bertahan dalam badai ketidakmampuan. Tidak dibenarkan oleh hukum apa
saja termasuk hukum langit—menutupi ketidakberdayaan dengan mengkambinghitamkan
pihak-pihak lain. Inilah namanya budaya malu. Inilah budaya orang
timur—memiliki rasa malu.
Mengakui
ketidakmampuan, kemudian memberikan kesempatan kepada yang lain, merupakan
sikap kesatria. Pemimpin muda harus
berjiwa kesatria, memiliki rasa malu. Dalam konteks ini, marilah kita belajar
kepada Jepang. Para pejabat di Jepang memelihara budaya malu. Bila tidak mampu,
mereka mundur tanpa dipaksa dulu baru mundur. Para pemimpinnya hidup sederhana,
sebab ia malu hidup bermewah-mewahan dengan uang rakyat, yang notabene
rakyatnya masih ada yang miskin. Mereka malu korupsi, sehingga kita bisa
menyaksikan di berbagai berita para koruptor melakukan harakiri sebab malu.
Berbeda dengan koruptor di negeri ini, sudah berstatus tersangka masih saja
tertawa terbahak-bahak seakan bangga dicap sebagai maling. Miris!
Satu kata untuk
pemimpin muda, MAJU!
( Ditulis oleh Ali Margosim, dari berbagai sumber)
0 komentar:
Post a Comment