Kata sastra tentu tidak lagi asing bagi kita. Kita bisa mendengarnya dari nama seseorang, semisal Sudijono sastra atmojo, Ali Sastro Amijoyo, Dian Sastrowardoyo, dan lain. Kalau dengan mahasiswa sangat populer fakultas sastra, jurusan bahasa dan sastra, dan lainnya. Penggunaan kata sastra lainnya lengket pada figur seperti sastrawan, kritikus sastra, penikmat sastra, dan lainnya.
Terlepas dari pendapat para senior saya, para sesepuh, para ahli atau bahkan guru besar sastra, saya memaknai sastra dari kacamata saya sendiri sebagai pelaku dan penikmat sastra.
Bagi saya sastra itu adalah seni ekspresi jiwa yang tertuang dalam sikap dan tindak tanduk yang kasat mata dari setiap orang. Seni itu membawa keindahan, kedamaian bagi dirinya dan bagi orang lain. Dan, yang paling menjadi keyword adalah setiap orang nyaman, menikmati keindahan dari ekspresi jiwanya itu dan tidak memangkas hak-hak orang lain yang memiliki hak yang sama dengan si dia dalam mengekspresikan diri.
Begitulah makna mentah dari sastra. Sebagai seorang manusia yang meyakini adanya Tuhan yang telah menciptkan dan memberinya penghidupan, maka makna sastra mencapai tingkat kesempurnaannya ketika sastra adalah seni mengekspresikan diri yang membawa keindahan bagi dirinya dan lingkungannya, tidak mengganggu orang lain, dan ekspresi indah itu makin mendekatkan dirinya kepada Illahi Sang Pencipta. Wujud dari sastra bisa berupa apa saja, mengikuti ekspresi yang dibawakan oleh tiap individu. Sastra bisa hadir dalam pengolahan suara ( nyanyian, puisi, pantun, musik acapella), gerakan (tari, goyang, joket, senam, silat, karate, dan sejenisnya), komplikasi (drama, teater, dan sejenisnya), retorika, kebijaksanaan, keputusan, cara berpakaian, mimik, wibawa, kans, kharismatik, fanto mimik, kesehatan, wawasan, dan lainnya.
Sastra itu luas. Sastra itu dalam. Sastra itu adalah kehidupan. Perjalanan hidup kita adalah bentuk sastra yang sempurna. Di dalamnya ada tangis, tawa, senyum, canda, air mata, suka, duka, senang, susah, sehat, sakit, dan lainnya. Sastra mengalir ke sepanjang tubuh kita bersamaan dengan aliran darah yang tak pernah berhenti, atau siklusnya terputus walau sedetik saja. Bila aliran darah itu berhenti, maka pribadi itu dipastikan hayatnya selesai, di saat itulah sastra berakhir.
Yang sekiranya menjadi pertanyaan kita adalah, apakah sastra yang merupakan karunia besar Illahi itu membuat kita semakin memaknai hakikat sastra itu sendiri? Prof Dr Hamka mengatakan, sastra tertinggi adalah ketika jiwa yang hidup itu semakin tunduk pada sang Maha Pemilik Sastra. Pendek kata, sastra membuat tiap-tiap pribadi semakin mengenal dan ta’at kepada Tuhannya, Allah swt.
Banyak teman saya dari salah satu perkumpulan yang mengatasnamakan seniman berujar bahwa aurat adalah sastra. Saya membenarkannya dalam konteks ini saja ; aurat seorang isteri adalah bagian dari sastra bagi suaminya. Karena menampakan bagian lekuk tubuh dari seorang isteri adalah hak miliknya si suami. Suami merasakan seni yang sempurna, alias menikmati, tanpa merugikan atau mengganggu hak-hak orang lain. Dalam kasus ini ada seni, ada keindahan, tidak merampas atau mengganggu orang lain, dan kepuasan dari mereka berdua yang semakin meningkatkan rasa kasih sayang dan syukur di antara mereka.
Lain halnya, seseorang yang memamerkan tubuhnya (buka-bukaan, tanktop/hotpans) di jalanan, di mal-mal, di tempat keramaian lainnya dengan dalih seni dan keindahan. Kita perlu bertanya, betulkah ia nyaman dengan penampilan seperti itu? Oke, katakanlah ia nyaman dan merasa punya hak. Katanya, “yang mau gosong, lecet, dimakan tikus juga tubuh gue. Masalah buat loe?” Okelah. Pertanyaan berikutnya, apakah orang lain juga nyaman dengan penampilannya yang seperti itu? Bisakah dia memastikan bahwa ratusan bahkan ribuan orang disekelilingnya merasa nyaman dengan shownya tersebut? Ketahuilah, tidak semua orang berpikiran sama seperti dirinya. Banyak orang yang risih, terganggu, tidak nyaman, dan bahkan mengutuk dalam hatinya—mudah-mudahan saja manusia seperti ini segera pergi. Inilah yang saya sebut diawal tadi sebagai bentuk dari perampasan hak-hak khalayak umum. Social Crime, kejahatan sosial. Kondisi seperti ini bukan lagi dinamakan wujud dari sastra, karena sastra dicintai setiap orang. Camkanlah!
(Ditulis oleh Ali Margosim, Penulis produktif, dan Spritual Motivator)
0 komentar:
Post a Comment