Kahlil Gibran berani menyatakan cinta kepada wanita idamannya May Ziadah, setelah melantunkan puisi-puisi cinta. Perang antar bani (suku) quraisy di tanah mekah meletus setelah salah satu diantara mereka kalah dalam adu puisi. Paman Nabi, Hamzah, yang dijuluki singa padang pasir, ternyata tidak hanya lincah adu pedang dan ahli dalam berkuda tapi juga fasih dalam bersyair. Para mujahid perang badar mengobarkan semangat jihadnya lewat syair-syair jihadnya. Dan, daku pun membulatkan tekad membangun kehidupan baru setelah berulang kali menyelami syair-syair cinta Jalaludin Rumi. Engkau ingin tahu betapa dahsyatnya sebuah syair? Renungkanlah syair hebat Rumi berikut.
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,
Saya mencintainya dan Saya mengaguminya,
Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya.
Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya,
Kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai,
Dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta
yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan
dia dan mereka adalah dia.Ini adalah sebuah rahasia
Jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
Kahlil Gibran dalam syairnya, menuliskan:
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu… Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada…”
Syair membuat orang yang menjiwainya menjadi berani, ada kekuatan untuk menyatakan isi hati. Ruh keberanian itu menjadi sihir bagi orang yang dicintai. Dalam salah suratnya May Ziadah menuliskan syairnya untuk Kahlil Gibran.
“Surya tenggelam dibawah cakrawala nun jauh disana, dan di sela awan-awan senja yang aneh bentuknya dan mempesona , muncullah sekunar bintang Johar, Dewi Cinta. Dalam hati aku bertanya, apakah bintang ini juga dihuni oleh insan seperti kita, yang saling mencinta dan memendam rindu…?”
Seorang yang terkenal dengan syeikhul ‘Ilmu, Rasulullah saw menyebutnya sebagai “Gudangnya Ilmu”, Khalifah ke-4, dialah Ali bin Abu Thalib, ternyata seorang pakar sastra. Semangat memerangi kebathilan, semangat membumikan kebaikan tumbuh dan subur dengan salah satu pupuknya adalah sastra. Syair-syair beliau yang sangat menggugah, menggerakkan, menginspirasi, dan menyadarkan setiap orang yang membaca, dan mendengarnya. Saya pikir, beliau juga sangat ahli dalam membahagiakan isteri dengan bait-bait yang membawa Fathimah melayang-melayang di awan kebahagiaan.
Diriwayatkan daripada Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata: ” Aku dengar Ali bin Abu Talib ketika itu bersyair dengan beberapa bait syair sedang Rasulullah SAW mendengarkannya. Inilah bait-bait syair Ali bin Abi Talib:
Sesungguhnya aku adalah saudara pilihan,
tidak ada keraguan lagi pada nasabku (keturunan).
Datukku dan datuk Rasulullah SAW adalah sama. (pengelola ruang- satu darah keturunan, darah Abdul Mutalib dari Ibrahim AS)
Aku membenarkan kerasulannya,
di mana ketika semua manusia di dalam kegelapan, kesesatan, kesyirikkan, dan kesusahan hidup.
Segala puji bagi Allah dengan sebanyak-banyak syukur,
yang tidak ada sekutu baginya.
Yang bersifat baik pada hamba-hambanya
dan bersifat kekal untuk selama-lamanya.
Mendengar dendangan syair itu, maka Rasulullah SAW tersenyum, seraya berkata:
” Benar engkau wahai Ali “.
Ingatlah, Saat umat Islam menggali parit menjelang Perang Khandaq (Perang Ahzab), Rasulullah Saw mengangkat seorang sahabat ahli syair, Hasan bin Tsabit, yang bertugas khusus mengobarkan semangat kaum Muslimin di medan pertempuran dengan syair-syairnya yang energik.
“Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.
Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.
Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh”
”Jika Rabbku berkata padaku.
Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.
Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.
Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku”
Kenang pulalah kisah dalam peristiwa Perang Mu’tah, peperangan terbesar masa Rosulullah Saw, komandan pasukan Islam, Ja’far bin Abi Thalib, sambil terus menyerang musuh, ia melantunkan syair:
”Hai orang-orang, apakah tidak baik surga itu
Dan surga itu sudah dekat
Betapa indahnya ia
Dan betapa sejuknya air surga
Telah dekat masa siksa bagi raja Romawi
Dan saya mempunyai kewajiban untuk membunuhnya”
Setelah Jafar menemui syahidnya, Abdullah bin Rawahah tampil sebagai komandan pengganti. Sambil bertempur, ia pun menyemangati diri dan pasukannya dengan membaca syair:
“Wahai hati, kamu harus turun
Meskipun dengan senang hati, ataupun dengan berat hati
Kamu telah hidup dengan ketenangan beberapa lama.
Berpikirlah, pada hakikatnya, kamu berasal dari setetes air mani
Lihatlah orang-orang kafir telah menyerang orang-orang Islam
Apakah kamu tidak menyukai surga jika kamu tidak mati sekarang suatu saat nanti, akhirnya kamu akan mati juga”.
Sastra membawa keberanian. Keberanian menunjukkan kepada dunia bahwa kebenaran pasti ditegakkan walau dengan air mata, darah, dan bahkan nyawa sekalipun. Kebenaran dan keyakinan atas kebenaran adalah harga diri bagi seorang pejuang.
Referensi :
Kumpulan Hadist Bukhori Muslim
Shirah Nabawiyah
Kembalikan Nasyid pada Khittahnya”, karya ASM. Romli, penerbit Nuansa Bandung
(Ditulis oleh Ali Margosim, Penulis, Anggota KSI, Trainer)
0 komentar:
Post a Comment