Saturday, September 9, 2017

Seni Mendidik Anak ala Nabi Ibrahim

Harum namanya sepanjang masa. Ketangguhan imannya teruji, kesalehannya dikenang sepanjang masa. Bahkan setiap hari semua muslim di dunia menyebut namanya dalam bacaan tahiyat akhir shalat.

Kama shallaita ‘alaa sayyidina ibrahim wa ‘ala ali sayyidina ibrahim. Kama barakta ‘alaa sayyidina ibrahim wa ‘ala ali sayyidina ibrahim.

Dialah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Ini sesuai dengan janji Allah SWT, sebagaimana yang tertuang dalam Al Qur’anul kariim.

“Dan kami abadikan untuk ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (QS As Saaffaat: 108)

Setiap tahun, sepertiga umat manusia mengenang keteladanannya lewat syariat ibadah qurban (Iedhul Adha). Keteladanannya tak pernah usai, syahdu di dengar, indah di pelupuk jiwa, berfaedah dikaji, dan selalu menarik untuk dibicarakan. Di antara uswah dan qudwah (keteladanan) tersebut adalah sukses dalam mendidik anak.

Sukses yang seperti apa? Sukses membentuk anak yang shalih. Anak yang kokoh aqidahnya, tangguh keimanannya, indah akhlaknya, dan patuh pada orangtua. Anak itu bernama Isma’il ‘alaihis salam. Ia memiliki keta’atan total kepada Allah SWT, dan bakti penuh kepada orangtua.

Hal ini terbukti saat Sang Ayah (Nabi Ibrahim) berkata kepadanya, “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihatmu dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” (QS. As Saafaat: 102)

Kalimat “Annii Azbahuka” bermakna “Aku Menyembelimu”. Adakah seorang anak yang siap mendengarkan kalimat tersebut, padahal baru tiga hari bertemu dengan ayahnya? Sebelumnya, tujuh tahun berlalu dari usianya saat itu ia hanya mengenal sang ibu. Ia tidak pernah melihat wajah ayahnya, bermanjaan dengan ayahnya. Isma’il kecil hanya mengenal ibunya, apa-apa dengan ibu, ibu lagi, dan ibu lagi. Lalu, dengan ayah yang baru berjumpa tiga hari tiba-tiba mengatakan “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihatmu dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu.”

Isma’il kecil menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang telah diperintahkan Allah atasmu. Maka engkau akan mendapatiku atas izin Allah termasuk orang yang sabar.”

Saya pessimis, untuk zaman seperti ini, akan ada anak yang menjawab sehebat jawaban di atas. Termasuk anak-anak saya juga tidak bisa. Bahkan, saya sendiri pun sebagai anak, juga tidak siap. Kelasnya berbeda. Kualitas keimanannya jauh berbeda. Kerikil dengan mutiara memang tak bisa disandingkan. Kira-kira seperti itulah perbandingan antara keluarga kita dengan keluarga mulia Nabiyullah Ibrahim ‘alaihis salam. Yang bisa kita lakukan adalah belajar memantaskan diri untuk terus lebih baik. Dalam hal ini berlaku ka’idah “Laa yukallipullaha nafsan illa wus’ahaa”. Allah tidak membebani hambaNya melainkan sesuai kesanggupannya. Dia Maha Mengetahui bahwa hamba-hambaNya yang akan datang tidak akan mampu menunaikan syariatNya yang itu, sehingga digantilah sembelihan qurban dengan binatang ternak.

Isma’il kecil mengajarkan kepada seluruh anak di dunia tentang dua hal. Pertama, akidah yang tangguh “tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan”. Kedua, kepatuhan total pada orangtua dalam ketaatan kepada Allah SWT. Ia siap mengorbankan apa saja demi bakti kepada orangtua. Artinya, jangankan tetek bengek duniawi, nyawanya saja siap ia berikan demi bakti kepada orangtua.

Bagaimana bisa anak sehebat Isma’il bisa ada di muka bumi ini, kalau bukan lewat penempaan yang luar biasa dari ayah dan ibunya? Iya, semua torehan sejarah bermula dari perjuangan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bagaimanakah Ibrahim mendidik Isma’il menjadi anak yang shalih?

Pertama, istri wajib shalihah. Mendidik anak bukan sejak usia dini, tetapi semenjak seorang lelaki memilih calon istri. Para petani memahami betul bahwa tanah yang subur memberikan hasil panen yang membanggakan. Para buruh mengerti sekali bahwa mesin yang bagus menghasilkan produk yang berkualitas.

Senada dengan hal itu semua, bahwa anak yang shalih hanya ada dalam dekapan cinta seorang ibu yang shalihah. Anak itu lahir, tumbuh, dan besar dalam pancaran cahaya tauhid dan semaian kasih sayang seorang ibu shalihah.

Ibrahim ‘alaihis salam lahir dan besar dalam perawatan seorang ibu yang shalihah, bernama Umayla. Walaupun ayahnya, Azar, seorang yang kafir ‘ala kufur (pembuat patung sekaligus penyembah patung). Anaknya tetap shalih (malah seorang Nabi), sebab ibunya shalihah.

Utbah, Utaybah, dan Mutaib. Mereka menolak islam, memusuhi kaum muslimin. Mereka dilahirkan dan dibesarkan oleh seorang wanita penyembah berhala, bernama Ummu Jamil.

Apa persamaan antara Ibrahim muda dengan ketiga putra Abu Lahab di atas? Ayah mereka sama-sama kafir, tetapi ibunya berbeda. Utbah bersaudara dibesarkan oleh ibu yang kafir, sementara ibrahim dididik oleh ibu yang shalihah di zamannya.

Sulaiman bin Daud ‘alaihis salam, lahir dan dibesarkan oleh seorang ibu yang shalihah, bernama Mikyal. Isa ‘alaihis salam lahir dari seorang perawan suci yang menghabiskan waktunya dalam keta’atan, yakni Siti Maryam. Musa ‘alaihis salam lahir dari seorang ibu yang ta’at kepada Allah SWT, yakni Yukabad. Muhammad Saw lahir dari seorang ibu yang suci. Suci dari kemusyrikan. Seumur hidup tak pernah menyembah berhala latta—uzza—manat—huber. Dialah Siti Aminah.

Sementara Kan’an, putra Nabi Nuh ‘alaihis salam, lahir dan dibesarkan oleh seorang ibu yang mengingkari ajaran tauhid yang dibawa oleh suaminya. Ia bernama Wali’ah. Alhasil, Kan’an pun ikut menjadi anak yang durhaka, dan kufur kepada Allah SWT.

Kedua putri Nabi Luth, Raitsa dan Zaghrata, juga tidak mengimani ajaran tauhid yang diserukan oleh ayahnya. Ia lahir dan dibesarkan oleh seorang ibu yang mengingkari ajaran suaminya. Wanita itu bernama Walihah.

Beberapa fakta sejarah diatas mengajarkan kepada kita semua bahwa kesalehan seorang anak ditentukan oleh keshalihaan ibunya. Lalu bagaimana dengan ibunya Isma’l ‘alaihis salam? Siti Hajar dididik langsung oleh sang khailullah, Ibrahim ‘alaihis salam. Ibrahim ‘alaihis salam mentarbiyah istrinya sampai derajad mumtaz.

Setelah keimanannya kuat, wawasan ketauhidan sang istri luas, barulah turun perintah dari Allah SWT kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam meninggalkan Siti Hajar bersama bayinya dekat Baitullah, Makkah al mukarromah. Sejak usia tiga bulan hingga tujuh tahun, Isma’il diasuh dan dididik oleh seorang ibu hebat bernama Siti Hajar. Tinta sejarah mengabadikan bahwa Siti Hajar merupakan wanita urutan kedua paling tangguh di dunia, setelah Siti Asiyah—istri fir’aun.

Bersambung...!

(Ditulis Oleh Ust Baba Ali, Pengasuh SAMARA CENTER, Praktisi Parenting, Pegiat Literasi Rakyat)

0 komentar:

Post a Comment